photo

Seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh yang menampilkan kefakirannya, memasuki sebuah pasar untuk membeli selimut. Ia membutuhkan lima lembar selimut untuk keluarganya di musin dingin tahun itu. Uang yang ia miliki hanya 100 ribu. Ia sudah berkeliling di pasar itu namun tidak ada toko yang menjual lima lembar selimut dengan harga 100 ribu.


Putus asa, ia memasuki toko terakhir di pasar itu. Ia sempat ragu karena toko itu adalah toko yang sangat besar dan megah dibanding toko-toko lainnya. Dengan suara ragu lelaki tua itu bertanya, “Saya membutuhkan lima lembar selimut, namun saya hanya punya uang 100 ribu. Apakah Anda menjualnya?” Pemilik toko berkata, “Ada pak, saya punya selimut bagus buatan Turki. Harganya 25 ribu per lembar. Kalau bapak beli empat lembar, akan mendapatkan bonus satu lembar.” Dengan wajah sumringah bapak tua miskin itu langsung mengulurkan uangnya dan segera setelah mendapatkan selimutnya, ia beranjak pergi.


Anak pedagang selimut itu memperhatikan ayahnya dan berkata, “Bukankah kata ayah, itu selimut termahal di toko ini? Dan bukankah harganya 250 ribu per lembar?” Sang ayah tersenyum dan menjawab, “Benar sekali nak, harga selimut itu 250 ribu per lembar. Kemarin kita berdagang dengan manusia. Sedang hari ini kita berdagang dengan Allah ﷻ. Ayah berharap, laki-laki tua itu dan keluarganya dapat terhidar dari dinginnya musim dingin kali ini. Ayah juga berharap Allah ﷻ akan menyelamatkan keluarga kita dari panasnya api neraka di akhirat nanti. Sesungguhnya, kalaulah tidak karena menjaga harga diri laki-laki tua tadi, ayah tidak ingin menerima uangnya. Tapi ayah tidak ingin ia merasa menerima sedekah, sehingga merasa malu.”


Sesampainya di rumah, istri lelaki tua itu terheran melihat selimut bagus yang dibawa suaminya. Apalagi setelah mereka menemukan harga yang tertulis di banderol selimut itu adalah 250 ribu selembar. Mereka berpikir bahwa penjual selimut itu salah memberi harga. Lalu anak gadisnya berinisiatif untuk mengembalikan selimut itu ke toko dimana ayahnya membeli. Anak lelaki tua itu berkata kepada anak pemilik toko, “Tadi pagi ayahku membeli lima lembar selimut di toko ini. Dan ternyata Anda salah memberi harga. Harga selimut ini 250 ribu per lembar, namun Anda memberikan harga 25 ribu. Untuk itu saya mengembalikan selimut ini.”


Anak pemilik toko itu pura-pura melihat label harga lalu berkata, “Masya Allah! Anda benar, harga selimut ini 250 ribu. Betapa Anda sekeluarga sangat baik. Menyelamatkan kami dari kerugian yang sangat besar. Kalau Anda tidak memberitahu, betapa banyak kerugian kami dengan tumpukan selimut yang sangat banyak itu. Sebagai ucapan terima kasih, izinkan kami memberi hadiah selimut-selimut itu untuk keluarga Anda.”


Ada rasa di sana. Ada cinta di sana. Ada adab yang indah. Yang setiap diri pasti mampu menangkapnya.


Namun ternyata, ini bukan pekerjaan mudah. Karena banyak sekali orang yang sesungguhnya sedang berbuat baik sekaligus melakukan kedzaliman. Banyak orang baik yang tanpa sadar menjadi orang yang paling buruk. Siapa? Mungkin kita, anakku. Sangat mungkin, karena perilaku itu seringkali terjadi tanpa disadari pelakunya. Banyak pekerjaan baik yang menyebabkan kita merasa penting, lalu meremehkan orang lain. Banyak pekerjaan penting yang menjadikan kita merasa lebih, lalu merendahkan orang lain. Banyak urusan ummat yang memunculkan rasa paling. Kemudian kita mengecilkan orang lain.


Anakku, kalau kita lihat sekeliling, banyak orang yang tiba-tiba merasa penting karena amanah yang diberikan pada mereka. Tiba-tiba merasa menjadi berbeda karena program-program yang dibuat sangat bermanfaat. Sangat inspiratif. Sangat berguna. Dan sangat-sangat yang lain. Kemudian muncul rasa bangga. Takjub dengan diri sendiri. Sampai lupa memberi empati karena sudah merasa penting, merasa paling, merasa terganggu dengan orang-orang yang minta bantuan. Merasa tidak ada waktu untuk orang-orang yang diperkirakan merepotkan dengan banyak keluhan. Sampai lupa memberi rasa.


“Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)


Kita tidak pernah lepas dari ancaman orang-orang yang memerangi iman. Namun kita jarang mau belajar, anakku. Orang-orang itu, membujuk iman kita dengan yang tampak baik. Menjerat iman kita dengan layanan dan cinta. Orang-orang itu lapang hatinya menerima keluh kesah, lebar telinganya mendengar susah dan resah. Terbuka tangannya mengulurkan bantuan dengan rasa. Sedang kita, lupa memberi rasa.


“Seorang Arab Badui berdiri dan kencing di masjid. Para sahabat ingin mengusirnya. Tapi Nabi ﷺ bersabda kepada mereka,  ‘Biarkanlah dia dan siramlah bekas kencingnya dengan setimba air atau setimba besar air. Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan bukan diutus untuk memberi kesususahan’.” (HR. Al Bukhari no. 323).


Anak-anakku, jangan-jangan selama ini amanah-amanah baik kita, menjadikan orang lain susah. Jangan-jangan pekerjaan kita yang tampak baik ini, menjadikan orang lain sempit jalannya. Hanya karena kita berdalih sesuai dengan prosedur dan profesionalisme. Sampai lupa memberi rasa. Lupa memberi cinta. Ya, banyak orang yang memberi bantuan namun tanpa rasa. Banyak orang yang menolong tapi tanpa cinta. Tidak sedikit yang berbuat baik namun terselip kesombongan. Juga tak kurang yang berjuang di jalan dakwah namun kikir rasa. Tersihir dengan kesibukannya dan takjub dengan amal solehnya. Alangkah sia-sianya.


Untuk itu anakku, berhati-hatilah kalian dengan tabiat ini. Karena setan bila tidak mampu membuat kita melakukan keburukan, ia akan menjadikan kita merasa baik. Dan rasa baik itulah yang menjadi pintu masuk semua keburukan. Jadilah orang baik yang dimaksud dalam agama ini. Yakni baik hubunganmu dengan Allah ﷻ, baik juga hubunganmu dengan sesama manusia. Sebagaimana anak penjual selimut itu berkata, “Sebagai ucapan terima kasih, izinkan kami memberi hadiah selimut-selimut itu untuk keluarga Anda…..” Wallahu’alam bishowab.


Penulis: Evie S. Zubaidi



Bagikan ke Teman





Rekomendasi Artikel