photo

Sejarah Pengelolaan Zakat Nasional

Sejak kedatangan Islam di Nusantara pada awal abad ke 7 M, kesadaran masyarakat Islam terhadap zakat pada waktu itu ternyata masih menganggap zakat tidak sepenting shalat dan puasa. Padahal walaupun tidak menjadi aktivitas prioritas, kolonialis Belanda menganggap bahwa seluruh ajaran Islam termasuk zakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Belanda kesulitan menjajah Indonesia khususnya di Aceh sebagai pintu masuk.

Atas hal tersebut, Pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada peng-hulu dan naib sebagai amil resmi waktu itu, melainkan kepada ahli agama yang dihormati, yaitu kiyai atau guru mengaji.

Pada saat yang sama masyarakat Aceh sendiri telah menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang dengan Belanda, sebagaimana Belanda membiayai perangnya dengan sebagian dana pajak. Sebagai gambaran, pengumpulan zakat di Aceh sudah dimulai pada masa Kerajaan Aceh, yakni pada masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1539-1567). Pada Masa kerajaan Aceh penghimpunan zakat masih sangat sederhana dan hanya dihimpun pada waktu ramadhan saja yaitu zakat fitrah yang langsung diserahkan ke Meunasah (tempat ibadah seperti masjid). Pada waktu itu sudah didirikan Balai Baitul Maal tetapi tidak dijelaskan fungsi spesifik dalam mengelola zakat melainkan sebagai lembaga yang mengurus keuangan dan perben-daharaan negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja.

Ketika terdapat tradisi zakat dikelola secara individual oleh umat Islam. K.H. Ahmad Dahlan sebagai pemimpin Muhammadiyah mengambil langkah mengorganisir pe-ngumpulan zakat di kalangan anggotanya.

Menjelang kemerdekaan, praktek pengelolaan zakat juga pernah dilakukan oleh umat Islam ketika Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), pada tahun 1943, membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi. Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI sendiri, Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh. Safei, K. Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto.

Dalam waktu singkat, Baitul Maal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Tetapi kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk membubarkan diri. Praktis sejak saat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis.

 

Perhatian Pemerintah terhadap pengelolaan zakat ditunjukkan dengan mener-bitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya. Keputusan tersebut dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran.

Namun demikian pernyataan tersebut tidak ada tindaklanjut, yang tinggal hanya teranulirnya pelaksanaan Peraturan Menteri Agama terkait dengan zakat dan baitul maal tersebut. Penganuliran Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 semakin jelas dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama No 1 Tahun 1969, yang menyatakan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan.7)

Dengan latar belakang tanggapan atas pidato Presiden Soeharto 26 Oktober 1968, 11 orang alim ulama di ibukota yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka mengeluarkan rekomendasi perlunya membentuk lembaga zakat ditingkat wilayah yang kemudian direspon dengan pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam tanggal 5 Desember 1968.

Pada tahun 1969 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid. Perkembangan selanjutnya di lingkungan pegawai kemente-rian/lembaga/BUMN dibentuk pengelola zakat dibawah koordinasi badan kerohanian Islam setempat.

Keberadaan pengelola zakat semi-pemerintah secara nasional dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990. Langkah tersebut juga diikuti dengan dikeluarkan juga Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS sebagai aturan pelaksanaannya.

Baru pada tahun 1999, pemerintah melahirkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Undang-Undang tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. BAZ terdiri dari BAZNAS pusat, BAZNAS Propinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.

Sebagai implementasi UU Nomor 38 Tahun 1999 dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini disebutkan tugas dan fungsi BAZNAS yaitu untuk melakukan penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Langkah awal adalah mengupayakan memudahkan pelayanan, BAZNAS menerbitkan nomor pokok wajib zakat (NPWZ) dan bukti setor zakat (BSZ) dan bekerjasama dengan perbankan dengan membuka rekening penerimaan dengan nomor unik yaitu berakhiran 555 untuk zakat dan 777 untuk infak. Dengan dibantu oleh Kementerian Agama, BAZNAS menyurati lembaga pemerintah serta luar negeri untuk membayar zakat ke BAZNAS.

Tingkat kesadaran masyarakat untuk berzakat melalui amil zakat terus ditingkat-kan melalui kegiatan sosialisasi dan publikasi di media massa nasional. Sejak tahun 2002, total dana zakat yang berhasil dihimpun BAZNAS dan LAZ mengalami peningkatan pada tiap tahunnya. Selain itu, pendayagunaan zakat juga semakin bertambah bahkan menjangkau sampai ke pelosok-pelosok negeri. Pendayagunaan zakat mulai dilaksanakan pada lima program yaitu kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan dakwah.

Pada tanggal 27 Oktober 2011, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui Undang-undang pengelolaan zakat pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25 November 2011. UU ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan dimaksud, UU mengatur bahwa kelembagaan pengelola zakat harus terintegrasi dengan BAZNAS sebagai koordinator seluruh pengelola zakat, baik BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota maupun LAZ.

Mandat BAZNAS sebagai koordinator zakat nasional menjadi momentum era Kebangkitan Zakat di Indonesia. Dengan berharap rahmat dan ridha Allah SWT, semoga kebangkitan zakat mampu mewujudkan stabilitas negara, membangun ekonomi kerakyatan, dan mengatasi kesenjangan sosial.

 


Bagikan ke Teman





Rekomendasi Artikel